Selasa, 21 Juni 2011

Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa (Etika Jawa)

Bab ini membahas mengenai dua kaidah dasar kehidupan ‘masyarakat Jawa’ yaitu etika atau norma dasar yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat khususnya pada masyarakat Jawa. Menurut Hildred Geertz terdapat dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama adalah bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua, menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Pada buku ini kaidah pertama disebut sebagai prinsip kerukunan, sedangkan kaidah kedua merupakan prinsip hormat.
1. Prinsip kerukunan
a. Rukun
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan tersebut disebut rukun. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial dalam keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap pengelompokkan. Berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik.
Terdapat dua segi dalam tuntutan kerukunan. Pertama, dalam pandangan Jawa masalahnya bukan penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada. Kedua, prinsip kerukunan pertama-tama tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Maksudnya adalah masyarakat Jawa tidak berusaha untuk menciptakan sebuah keselarasan sosial melainkan berusaha untuk tidak merusak keselarasan yang telah tercipta dengan sendirinya. Mereka tidak melibatkan perasaan untuk menciptakan keselarasan, tetapi menjaga supaya keselarasan sosial tetap terjaga dan tidak rusak.
b. Berlaku Rukun
Suatu konflik dapat terjadi apabila terjadi benturan antara kepentingan yang satu dengan yang lain. Kerukunan menuntut agar individu dapat menomorduakan, bahkan jika perlu melepaskan kepentingan pribadi demi kesepakatan bersama. Apabila terdapat kepentingan yang saling bertentangan, maka diperlunak dengan teknik-teknik kompromi tradisional dan diintegrasikan ke dalam tatanan kelompok yang ada sehingga tidak sampai timbul konflik. Ambis-ambisi pribadi jangan sampai diperlihatkan.
Untuk mengantisipasi emosi yang mungkin hadir pada pertentangan yang terjadi, masyarakat Jawa cenderung mengembangkan norma-norma kelakuan. Norma-norma tersebut berlaku dalam lingkungan masyarakat kecuali keluarga inti. Pada keluarga, kekuatan simpati spontan (tresna, cinta, kasih) biasanya mencegah terjadinya emosi-emosi agresif atau setidaknya membatasi. Norma tersebut dapat dirangkum dalam tuntutan untuk mawas diri dan menguasai emosi. Maksudnya adalah ‘orang Jawa’ (priyayi) telah terlatih untuk tidak menunjukkan emosinya saat menghadapi pertentangan atau konflik, mereka cenderung memendam emosi dalam hati, cara ini bisa disebut dengan istilah seni kontrol diri.
Saat konflik terjadi ‘orang Jawa’ akan berusaha untuk bersikap tenang tanpa mengatakan apapun juga, yang kira-kira dapat menimbulkan konflik semakin melebar, merka cenderung tidak ingin menyakiti hati lawan bicara. Saat harus mengambil sikap, orang Jawa cenderung akan mengatakan atau mengeluarkan pendapatnya dengan suara yang rendah dan tenang, sehingga siapapun yang mendengar akan sulit berkata ‘ya’, atau ‘tidak’. kata yang diucapkan untuk memulai suatu pendapat biasanya diawali dengan kalimat ‘Saya rasa’ atau ‘barangkali’.
Orang Jawa beranggapan bahwa membuka perasaan hati begitu saja dianggap negatif atau tidak baik, mereka lebih suka untuk tidak mengatakan apa-apa daripada menimbulkan suasana yang tak tenang. Untuk tawaran dan permintaan sebaiknya tidak dilakukan secara langsung, melainkan perlu dijajaki dahulu, bagaimana keinginan seperti itu akan dapat diterima. Maksudnya, saat seseorang akan mengajukan tawaran untuk melakukan sesuatu, ada baiknya orang itu menyelidiki atau menjajaki terlebih dahulu tawaran yang akan dia ajukan, apakah telah sesuai dengan keadaan ataukah ada kemungkinan akan ditolak. Misalnya jika seseorang akan melamar (menawarkan) anaknya untuk dijadikan menantu, orang itu akan menjajaki terlebih dahulu orang yang akan dilamar, caranya adalah membuka pembicaraan dengan topik yang tidak penting (berbasa-basi). Dari pembicaran tersebut, biasanya dapat diketahui kemungkinan adanya penerimaan atau penolakan dari pihak yang dilamar.
Sebaliknya, untuk menolak sesuatu yang ditawarkan, orang Jawa cenderung menjelek-jelekkan atau merendahkan dirinya sendiri. Misalnya saja, untuk menolak lamaran dari seseorang. Pihak keluarga biasanya akan mengatakan bahwa anaknya tidak pantas untuk bersanding karena masih kecil atau belum dewasa, bisa juga dengan mengatakan bahwa anaknya tidak cukup baik untuk dijadikan istri karena memiliki banyak kekurangan dan tidak memenuhi syarat. Kekasaran bukanlah watak yang terpuji, dan ketika orang tiba pada maksud yang sesungguhnya , dalam suatu percakapan harus sudah menyadari apa yang hendak dikatakan oleh seseorang, itulah sebabnya perlu dilakukan penjajakan dengan pembicaraan yang tidak langsung ke pokok masalah sebenarnya.
Tehnik lain untuk menghindari kekecewaan adalah kebiasaan untuk berpura-pura atau ethok-ethok. Ethok-ethok merupakan seni yang tinggi dan dinilai positif. Ethok-ethok berarti bahwa diluar lingkungan keluarga inti orang tidak akan memperlihatkan persaan-perasaannya yang sebenarnya. Terutama perasaan negatif. Meski seseorang sedang sedih atau marah dia akan tetap tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Usaha ini dimaksudkan supaya keakraban dapat terus berlangsung dalam hubungan antar orang. Kebiasaan ini juga memberi manfaat supaya kedua belah pihak dapat mengembangkan pembicaraan ke segala arah dan menghindari kemungkinan negatif yang terjadi apabila fakta (kebenaran) yang sesungguhnya diketahui oleh kedua belah pihak.
Tata krama Jawa merupakan salah satu sara ampuh untuk menghindarkan terjadinya konflik. Tata krama mengatur semua bentuk interaksi langsung diluar lingkungan keluarga inti dan lingkungan teman-teman akrab. Pendidikan di dalam keluargalah yang membentuk penguasaan tata krama di lingkungan sosial. Anak-anak Jawa mendapat pendidikan tersebut dari orang tuanya, menurut Hildred Geerz di bagi atas dua tahap. Pertama, berlangsung kurang lebih sampai anak berusia 5 tahun dan ditandai oleh kesatuan yang akrab dengan keluarga tanpa adanya ketegangan-ketegangan apa-apa. Penertiban dicapai melalui dua cara, pertama sikap-sikap yang terpenting dilatihkan pada anak melalui ulangan halus terus menerus. Kedua anak dituntut taat tidak melalui ancaman hukuman atau teguran dari ibu.
Tahap kedua dimulai sesudah anak melewati umur 5 tahun. Seorang ayah yang sebelumnya seperti sahabat, menjauhkan dirinya menjadi asing supaya timbul perasaan takut dan hormat sehingga si anak akan menuruti keinginan atau perintah ayahnya. Apabila orang Jawa telah dewasa, maka ia telah membatinkan bahwa kesejahteraannya, bahkan eksistensinya, tergantung dari kesatuannya dengan kelompoknya. Prinsip kerukunan mendapat penerapan dalam segala bidang kehidupan sehingga perselisihan antara anggota keluarga inti memperebutkan warisan sangat jarang terjadi.
Orang Jawa berusaha memperlakukan orang lain seperti keluarga, misalnya tetangga. Orang asing yang ditemui disapa dengan sebutan seperti keluarga sendiri misalnya mbak, mas, pak dan bu. Hal tersebut dilakukan karena orang Jawa memiliki keyakinan bahwa sebaiknya orang mencegah atau mengecilkan kecondongan-kecondongan yang memisahkan atau yang menimbulkan pertentangan-pertentangan individu-individu. Maksudnya sedapat mungkin mereka berusaha untuk menciptakan suasana kerukunan dalam hal ini kekeluargaan pada orang asing supaya tidak merasa asing.
Praktek gotong royong seperti rembug desa, juga berfungsi mewujudkan kerukunan. Dalam musyawarah seseorang dapat mengeluarkan pendapatnya sendiri-sendiri, hasil musyawarah berdasarkan hasil rembugan yang disepakati bersama, bukan melalui penghitungan suara. Dengan cara tersebut kerukunan dapat terjalin dengan erat.
c. Rukun dan Sikap Hati
Inti prinsip kerukunan adalah tuntutan untuk mencegah segala kelakuan yang dapat menimbulkan konflik terbuka. Motivasi untuk bertindak rukun bersifat ganda yaitu di satu pihak individu berada di bawah tekanan berat darui pihak lingkungan yang mengharapkan daripadanya sikap rukun dan memberi sanksi terhadap kelakuan yang tidak sesuai. Di lain pihak individu membatinkan tuntutan kerukunan sehingga ia meras bersalah dan malu apabila kelakuannya mempengaruhi kerukunan. Maksudnya adalah perasaan atau dorongan hati untuk menghindari terjadinya konflik ada pada diri setiap individu, perasaan damai dan tentram akan terasa jika individu dapat menghindarkan terjadinya konflik.
Dalam etika dibedakan antara prinsip moral dan prinsip penata masyarakat. Yang pertama menuntut sikap-sikap batin yang memang harus terwujud dalam tindakan lahiriah. Yang kedua memuat norma-norma kelakuan yang dituntut dan seperlunya dipaksakan oleh masyarakat entah apa sikap batin seseorang. Demi kerukunan dapat di tuntut represi terhadap pengejaran kepentingan egois, tetapi tidak di tuntut represi perasaan batin. Batin manusia tetap dibiarkan bebas. Maksudnya individu boleh memperjuangkan keinginannya tanpa harus melibatkan perasaan (batin). Akan tetapi dalam ajaran moral Jawa ditegaskan bahwa orang Jawa sedapat mungkin tidak boleh menunjukka ambisi pribadinya secara terang-terangan. Karena itu pengejaran kepentingan harus dilakukan perlahan-lahan dan tidak perlu diperlihatkan secara jelas.
Orang Jawa sepenuhnya menyadari kepentingan individualnya, nampak dalam hal gotong royong. Orang Jawa biasa menabung kebaikan pada orang lain supaya suatu hari saat dia sendiri membutuhkan bantuan tabungan itu dapat diambil. Misalnya saat ada tetangga yang membutuhkan bantuan untuk membangun rumah, dia akan membantu pembangunan rumah tersebut dengan harapan ‘hutang’ bantuan tersebut dapat ditagih saat dia membutuhkan misalnya saat dia mau memperbaiki rumah atau panen dan sebagainya.

2. Prinsip Hormat
Kaidah kedua yang memainkan peranan dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa adalah prinsip hormat. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Dalam prinsip hormat semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus di beri hormat. Sedangkan sikap yang tepat terhadap mereka yang berkedudukan lebih rendah adalah sikap kebapakan atau keibuan dan rasa tanggung jawab. Dalam bahasa Jawa tidak ada kemungkina untuk menyapa dan bercakap-cakap dengan seseorang tanpa memperlihatkan bagaimana kita menaksirkan kedudukan sosial kita dibandingkan dengan dia. Bahasa krama dan ngoko memperjelas status atau kedudukan seseorang dengan orang lain. Orang Jawa juga terbiasa menggunakan istilah keluarga dalam menyapa orang lain (seperti pak, bu, mas, dan mbak). Hal itu menunjukkan rasa hormat seseorang pada orang lain.
Penggunaan istilah keluarga untuk menyapa anggota keluarga baik keluarga dekat maupun jauh (misan) masih dapat bergeser sesuai kedudukan orang tersebut. Misalnya saya memiliki kakak seayah yang telah memiliki beberapa anak, anak kakak saya wajib memanggil saya dengan sebutan bulik, meskipun usia anak itu lebih tua dari saya. Hal tersebut berlaku karena menurut susunan kedudukan dalam keluarga, saya lebih senior, meski dari segi usia saya kalah. Untuk berbicara dengan saya, keponakan saya akan menggunakan ragam krama untuk menunjukkan kedudukan saya yang lebih senior tetapi tidak menutup memungkinkan berbicara dalam bahasa ngoko karena masih termasuk sebaya.
Penggunaan istilah dan ragam bahasa, diajarkan sejak kecil melalui pendidikan keluarga. Menurut Hildred Geertz, pendidikan tersebut tercapai melalui tiga perasaan yaitu, wedi, isin, dan sungkan. Wedi atau takut merupakan reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut akibat kurang enak suatu tindakan. Seorang anak akan wedi (takut) terhadap orang yang dihormati, dan mereka juga akan dipuji saat wedi terhadap orang yang lebih tua atau orang asing. Rasa takut menimbulkan respect atau rasa hormat pada orang yang lebih tua.
Isin dan sikap hormat merupakan satu kesatuan. Orang Jawa akan merasa isin apabila tidak menunjukkan rasa hormatnya pada orang yang lebih tua atau yang pantas untuk dihormati. Rasa isin membantu seseorang untuk merasa bebas saat harus berhadapan dengan orang lain, karena telah terbiasa. Misalnya saat harus berhadapan dengan orang lain, kita telah terbiasa bersikap sopan dan menghormati tanpa ada rasa takut, sehingg orang yang berhadapan dengan kita akan merasa dihargai dan secara otomatis ikut menghormati kita.
Sungkan merupakan salah satu perasaan yang hampir sama seperti isin. Bedanya sungkan adalah malu dalam arti yang positif menurut Hildred Geertz sungkan adalah rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal, sebagai pengekangan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain.
Prnsip itu tidak mengenai sikap batin melainkan kelakuan dalam masyarakat. Bukan ketidaktaatan, melainkan mengenai kelakuan yang kurang hormat itulah yang bertentangan dengan prinsip itu. Jadi prinsip hormat bukanlah sikap yang memberi perintah dan dipatuhi, tetapi lebih kepada mendengarkan dengan hormat untuk kemudian dilaksanakan.
3. Etika Keselarasan Sosial
Masyarakat Jawa telah mengatur interaksinya dengan dua prinsip. Konflik-konflik harus dicegah dan setiap situasi pangkat dan kedudukan semua pihak yang bersangkutan harus diakui melalui sikap-sikap hormat yang tepat. Prinsip kerukunan mengatur semua bentuk pengambilan keputusan antara pihak yang sama kedudukannya. Prinsip hormat menetukan hubungan hirarkis dan dengan demikian menetapkan kerangka bagi segala macam interaksi.
Dalam pandangan Jawa prinsip-prinsip keselarasan memang harus didahulukan terhadap hukum positif. Menurut hukum positif, mempertahankan hak-haknya berhadapan dengan prinsip-prinsip keselarasan tidak disetujui. Akan tetapi saat ini hukum tersebut sulit dipertahankan karena perkembangan zaman merubah pemikiran tersebut. Saat ini, mempertahankan hak adalah suatu hak dan kewajiban individu. Prinsip kerukunan dan hormat menuntut kita untuk menguasai perasaan dan menahan napsu agar bersedia menomorduakan kepentingan pribadi terhadap pertahanan keselarasan masyarakat. Seseorang tidak boleh bertindak hanya berdasarkan penilaiannya sendiri terhadap suatu situasi tetapi dengan pertimbangan moral.
Secara moral kita tidak berhak untuk bertindak menurut satu norma moral saja. Misalnya saat ini kita dapat membantu orang lain, namun bantuan tersebut dapat menimbulkan merugikan konflik bagi orang lain yang juga bersangkutan dengan masalah tersebut.
Masyarakat melarang sikap-sikap yang bertentangan dengan rukun dan hormat dan tidak membiarkan suatu pelanggaran terhadap standar-standar itu berlangsung. Sikap itu normal dan tidak menimbulkan masalah interpretasi.
Tuntutan untuk mencegah konflik dan untuk menunjukkan hormat akan menggerogoti tanggung jawab moral individu serta keberlakuan norma-norma moral lain apabila dimutlakkan. Prinsip kerukunan memuat perintah mutlak untuk mencegah interaksi konflik.
Dua prinsip keselarasan bukanlah prinsip moral, melainkan prinsip penata masyarakat. Segi moral dua prinsip itu ialah bahwa masyarakat Jawa tidak menyetujui secara moral kalau seseorang, berdasarkan pertimbangannya sendiri tidak bertindak menurut dua prinsip itu. Kadang-kadang antara tuntutan untuk bersikap selaras dan tanggung jawab moral dapat terjadi konflik dan lantas akan teruji apakah keselarasan dianggap sedemikian mutlak hingga mebatasi otonomi moral manusia atau ternyata disadari bahwa betapapun pentingnya tuntutan untuk bersikap rukun dan hormat, namun tanggung jawab moral masih tetap dianggap lebih penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar